Release Insider | ATURAN wajib halal untuk semua produk yang beredar di Indonesia, menguar protes para pengusaha. Mereka beranggapan, hal tersebut akan membuat bisnis tersendat. Seperti apa?
Menyusul disahkannya Undang-Undang No 34/2014 tentang Jaminan Produk Halal, pemerintah pun lantas merancang beleid baru terkait sertifikasi halal. Beberapa poin penting calon beleid yang diamanatkan UU paling lambat keluar pada 17 Oktober 2016 itu menyebutkan bahwa semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Indonesia, wajib bersertifikat halal. Jika tidak, produk itu wajib ditarik peredarannya.
Direktur Halal Kementerian Agama Siti Aminah, mengatakan, pemerintah tak serta merta akan mewajibkan semua produk halal sekaligus di tahun ini, melainkan dilakukan secara bertahap hingga 2019. Tahun pertama di 2016, wajib halal untuk produk makanan dan minuman. Tahun kedua di 2017 untuk produk kosmetik. Lalu, tahun ketiga untuk obat-obatan dan alat kesehatan.
Akan tetapi, belum menjadi beleid resmi, rancangan peraturan pemerintah (RPP) ini sudah menuai gelombang protes kalangan pengusaha. Pebisnis di sektor manufaktur seperti pengusaha makanan dan minuman, restoran hingga kosmetik, merasa keberatan dengan isi calon beleid itu.
Ketua Perhimpunan Perusahaan dan Asosiasi Kosmetika (PPAK) sekaligus Presiden Direktur PT Mustika Ratu, Putri K. Wardani, mengatakan, sertifikasi halal sebaiknya bukan kewajiban tapi voluntary. Wajib halal mengharuskan pengusaha melakukan uji laboratorium atas bahan baku yang digunakan untuk membuat produk, baik kosmetik, makanan, minuman, dan banyak lagi. Masalahnya, satu kosmetik semisal, memiliki banyak bahan baku.
Senada dengannya, Chief Executive Officer PT Paragon Technology and Innovation (Wardah), Nurhayati Subakat, mengungkapkan, lebih ribet lagi produsen yang merupakan perusahaan berskala internasional. Mereka akan kesulitan mengurus sertifikat halal karena bahan baku berasal dari distributor global, selain tentu juga menambah biaya sertifikasi.
Pengusaha makanan juga mulai menyuarakan protes. Seperti yang diungkapkan Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia. ’’Wajib halal bukan hanya produk makanan, tapi termasuk jasa seperti distribusi,” ujarnya dalam perbincangan bisnis yang diadakan oleh PASFM Radio Bisnis Jakarta, di Free Function Room Hotel Ibis Harmoni, beberapa waktu lalu.
Sekjen Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Titie Sadarini, menjelaskan, pembahasan mengenai wajib halal bukan merupakan hal yang baru, mengingat peraturan terkait hal ini juga sudah diatur di beberapa undang-Undang seperti Undang-Undang Pangan atau Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Menurut Titie Sadarini, GAPMMI keberatan dengan Pasal 4 di Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH). Jika sebelumnya wajib bersertifikasi hanya untuk produk makanan dan minuman yang ingin menyatakan halal, maka di Undang-Undang JPH yang baru ini, semua produk barang dan atau jasa wajib bersertifikasi halal.
’’Inilah yang membuat sebuah produk yang ingin dijual di Indonesia harus memiliki sertifikasi halal,’’ ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturer Group IPMG, Parulian Simanjuntak. Menurutnya hal ini juga akan menyulitkan obat-obatan masuk ke pasar, mengingat setiap bahan baku yang digunakan juga harus memiliki sertifikasi halal. Parulian Simanjuntak menambahkan, pada Undang-Undang JPH ini, yang harus disertifikasi bukan hanya produk akhirnya tetapi juga prosesnya.
Hal ini akan membuat para produsen obat-obatan dituntut memiliki dua pabrik untuk obat yang sama. Parulian Simanjuntak menyampaikan seharusnya sertifikasi halal ini sifatnya sukarela, terutama untuk obat-obatan dan vaksin.
Di tempat yang sama Pengurus Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI), Frida Chalid, juga menyampaikan hal yang sama. Frida Chalid menambahkan saat ini industri farmasi dituntut untuk mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional, dimana pemerintah meminta agar industri farmasi dapat menyuplai obat yang baik dengan harga murah.
Sementara pendaftaran obat membutuhkan waktu minimal dua tahun. Undang-Undang JPH ini akan membuat waktu yang dibutuhkan akan lebih lama lagi. Sehingga yang menjadi perhatian GPFI adalah bagaimana industri dapat memastikan ketersedian obat, pemerataan dan keterjangkauannya bagi masyarakat, untuk mendukung program kesehatan masyarakat.
Bagi perusahaan yang bergerak di industri kosmetik, Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini cukup mengejutkan, apalagi pihaknya belum pernah mendapat kesempatan untuk sesi dengar pendapat atau konsultasi. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Bidang Teknis dan Ilmiah Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (PERKOSMI), Dewi Rijah Sari yang juga hadir dalam perbincangan bisnis yang diadakan oleh PASFM Radio Bisnis Jakarta.
Dewi Rijah Sari juga melihat Undang-Undang ini terlalu prematur untuk dikeluarkan. Selain itu bila dilihat dari berbagai paket kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah yang mengedepankan debirokratisasi dan deregulasi, maka Undang-Undang JPH ini tidak selaras.
Undang-Undang JPH juga akan berdampak terhadap industri kosmetik dari hulu hingga hilir, mengingat sertifikasi bukan hanya untuk fasilitas dan produk, tetapi Undang-Undang JPH juga akan melihat dari distribusi hingga ketingkat penjualan.
Ketua APINDO Bidang Kebijakan Publik, Danang Girindrawardhana menjelaskan ada empat hal yang menurut pihaknya bermasalah. Pertama, Undang-Undang JPH mengatur terlalu luas atas subyek yang disebut halal. Kedua, apindo menilai Undang-Undang JPH melihat masyarakat Indonesia masih terlalu bodoh sehingga tidak bisa membedakan yang halal dan tidak. Sehingga negara harus hadir untuk mensertifikasi halal dalam setiap produk.
Ketiga, Undang-Undang JPH ini membuat seolah-olah Indonesia tidak membutuhkan negara lain, di mana 60-90 persen barang yang beredar di Indonesia harus disertifikasi halal. Keempat, Undang-Undang JPH ini akan membuat matinya investasi di Indonesia, mengingat akankah para negara pengeskport mau mensertifikasi produknya yang dipasarkan di Indonesia.
Sementara, Plt. Kepala Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Kementrian Perindustrian, Donny Purnomo, menjelaskan, pemerintah berusaha agar saat Undang-Undang JPH diterapkan nanti, masih ada poin-poin seperti diberlakukan secara bertahap. Pemerintah juga hanya akan mempidana pihak yang melakukan pemalsuan sertifikasi halal dan pihak yang terlibat dalam proses sertifikasi halal yang kemudian membocorkan hak atas kekayaan intelektualnya.
Di luar itu tidak ada ketentuan pidana. Lebih jauh Donny Purnomo meminta asosiasi tidak perlu terlalu khawatir mengingat jenis produk mana yang diwajibkan disertifikasi belum disepakati. (ncy)