Release Insider | Tingginya tingkat adiksi akan gawai terbukti mampu mempengaruhi kesehatan anak. Baik secara fisik maupun mental, yang berakibat pada turunnya kualitas tumbuh kembang anak. Hal ini bisa dicegah dengan peran aktif orang tua dalam pendampingan.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) DR. (Cand) Sitti Hikmawatty, S.St, M.Pd menyebutkan kasus kecanduan gawai menyebabkan penurunan tingkat kontrol emosi.
“Dari pemantauan di lapangan, 30 persen anak adiksi gawai memiliki risiko emosi tinggi,” kata Sitti, usai Seminar Media Bersama Lindungi Hak Anak yang diselenggarakan oleh IDAI di Jakarta, Kamis (20/6/2019).
Ia menyampaikan, kecenderungan tantrum akan muncul saat gawai diambil oleh orang tua.
“Salah satu kasus yang pernah saya tangani, saat anak dengan adiksi gawai merasakan ketidaknyamanan karena gawainya diambil adalah timbulnya rasa kehilangan yang sangat besar. Sangat besar, menurut anak itu, sehingga timbul keinginan di dalam diri anak itu untuk membunuh orang yang mengambil gawainya. Yaitu, ibunya,” paparnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Satgas Perlindungan Anak dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) DR. Dr. Meita Dhamayanti, Sp.A(K), bahwa gawai akan mampu memicu gangguan baik fisik maupun mental.
“Secara mental, kaitannya pada kontrol emosi. Pada fisik tubuh, biasanya anak yang sudah kecanduan gawai akan mengalami gangguan hormonal. Dan tidak jarang juga mengalami obesitas. Termasuk juga, kurang aktifnya motoris juga berpengaruh pada tumbuh kembang seorang anak,” ujarnya.
Baik Sitti maupun Meita, menyatakan saat ini memang sudah ada patokan waktu screen-time yang dikeluarkan oleh WHO.
“Tapi memang sifatnya hanya himbauan. Dan masih dilakukan pengkajian secara mendalam, apakah waktu screen-time selama satu jam itu sesuai atau tidak,” ucap Meita lebih lanjut.
Ia juga menekankan sebaiknya anak-anak tidak diperkenankan untuk mengakses gawai pada usia yang terlalu dini.
“Dengan kemajuan teknologi dan sisi positif gawai, kita juga tidak bisa melarang. Intinya adalah pendampingan orang tua dalam setiap proses tumbuh kembang,” ucapnya.
Meita menambahkan bahwa orang tua lah yang harusnya paling mengerti apa yang dibutuhkan oleh seorang anak di setiap tahapan usianya.
Pada usia 1-2 tahun, menurut data WHO, seorang anak hanya diperbolehkan menggunakan gawai kurang dari satu jam dalam sehari. Karena pada tahapan ini, seorang anak membutuhkan aktivitas fisik paling tidak selama tiga jam dan waktu tidur antara 11-14 jam sehari. Dan bayi juga tidak boleh terlalu lama duduk dalam stroller lebih dari satu jam.
Harapan screen-time kurang dari satu jam atau maksimal satu jam, juga masih berlaku pada anak 3-4 tahun.
“Sebaiknya memang untuk bayi itu tidak ada gadget sama sekali. Karena mereka memang belum memiliki pertahanan untuk radiasi yang muncul dari gadget,untuk remaja pun, setelah satu jam harus berhenti dulu. Melakukan aktivitas lainnya untuk memberikan kesempatan pada mata beristirahat,” kata Meita.
Meita mengungkapkan bahwa akan dilakukan kerjasama antara KPAI, IDAI, Kemenkes dan Kemendikbud terkait sosialisasi masa screen-time ini.
“Juga edukasi pada orang tua, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dan pendampingan secara maksimal,” pungkas Meita.