Release Insider | INDONESIA membutuhkan pejuang kesehatan yang militan. Ya, mereka yang mau dengan ikhlas berjuang meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat miskin yang saat ini angkanya masih cukup tinggi.
Hingga September 2016, penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan mencapai 10,7 persen, atau sebanyak 27,76 juta orang. Sementara, jumlah penduduk miskin perdesaan mencapai 13,96 persen atau sebanyak 17,28 juta orang.
Tentu saja, jumlah tersebut masih terbilang cukup tinggi sehingga berdampak pada kualitas hidup masyarakat, terutama di bidang kesehatan. Terus meningkatnya angka kemiskinan seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, maka dibutuhkan kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam meningkatkan status kesehatan penduduk Indonesia.
Seperti yang digelar Gerai Sehat Rorotan. Dalam memeringati hari ulang tahunnya yang ke-2, klinik pelayanan kesehatan gratis bagi kaum dhuafa ini menggelar kompetisi pejuang kesehatan.
Baca juga: Usia Wanita Terkena Kanker Serviks Semakin Muda
Kompetisi pejuang kesehatan ini juga terselenggara atas kerja sama Gerai Sehat Rorotan dengan perusahaan eksplorasi dan produksi minyak bumi nasional Thailand PTTEP, dan Dompet Dhuafa.
Para pejuang kesehatan yang terpilih, akan mendapatkan apresiasi berupa uang tunai puluhan juta rupiah. Hadiah tersebut nantinya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan program kesehatan yang berjalan.
General Manager PTTEP Titi Thongjen, mengatakan, proses pemilihan pejuang kesehatan ini cukup panjang. Publikasi program dilakukan sejak 1 Desember 2016. Dari 109 peserta, terpilihlah tiga terbaik yang tersebar di tiga wilayah, yakni Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Barat.
’’Para pejuang kesehatan yang terpilih adalah orang-orang yang terbukti mampu memberikan kontribusi nyata untuk masyarakat. Kriteria yang harus mereka penuhi untuk dapat terpilih sebagai pejuang kesehatan, salah satunya yakni durasi program yang dijalankan harus sudah berjalan minimal empat tahun,” ujar Titi Thongjen.
Kriteria lain yang harus dipenuhi untuk menjadi pejuang kesehatan, kata Titi, adalah harus memiliki program yang unik, menginspirasi dan kontributif, bersifat orisinil, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat.
Pemberian apresiasi kepada tiga terbaik pejuang kesehatan ini digelar bertepatan dengan Indonesia Internasional (Bio) medical Student’s Congress (INAMSC). INAMSC merupakan bagian Liga Medika yang digagas oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Salah satu sosok peserta pejuang kesehatan yang terpilih yakni Mawarti Arumi. Ia adalah pejuang kesehatan dengan program klinik bank sampah.
Latar belakang pendirian klinik bank sampah yang digagas Mawarti adalah rasa empati kepada para lansia yang memilki keterbatasan ekonomi untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak.
Baca juga: Ketimpangan Sosial di Indonesia Masih Mengkhawatirkan
Berlokasi di Desa Baruga, Kecamatan Uepay, Kabupatan Konewa, Sulawesi Tenggara, klinik bank sampah telah berdiri sejak tahun 2010 dan memiliki angota sebanyak 1.859 orang.
’’Kegiatan yang dilakukan di klinik bank sampah antara lain penyuluhan kesehatan, penyuluhan hidup bersih dan sehat, hingga home visit untuk para anggota yang kesulitan berobat ke klinik bank sampah,” ujar Mawarti.
Mawarti berharap, dengan adanya progam ini banyak masyarakat yang terinspirasi dan tergerak untuk membantu masyarakat marjinal mendapatkan akses pelayanan kesehatan yang mumpuni.
Tantangan terbesar
Sejak merdeka 71 tahun lalu, kemiskinan masih merupakan tantangan terbesar yang dihadapi bangsa Indonesia. Meski sejak 1999 bangsa ini berhasil memotong kemiskinan lebih dari setengahnya menjadi 11,2 persen pada 2015, namun masih banyak masalah yang harus diselesaikan.
Berdasarkan rating GNI per kapita Bank Dunia, saat ini Indonesia masih masuk dalam kategori lower middle income class dengan credit worthiness speculative. Status ini kalah dibanding negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina. Dengan kata lain, Indonesia masih sejajar dengan Bangladesh, Vietnam dan Pakistan.
Kemiskinan memang bagian dari krisis ekonomi. Akibatnya, masyarakat mengalami kesulitan dalam berbagai aspek kesehatan.
Tak hanya itu, problem kapasitas kesehatan di Indonesia adalah masih kurangnya kompetensi tenaga medis, rendahnya standar pelayanan kesehatan, dan lemahnya kesadaran masyarakat untuk aktif terlibat dalam membangun Indonesia yang lebih sehat. (ant)