Desakan Rumusan Dana Migas dalam RUU Migas

Dana Migas

Release Insider| PENERAPAN kebijakan dan program-program dana migas (DM) dalam UU Migas Baru, sepertinya cukup mendesak untuk dijalankan. Hal ini pula yang disepakati para pakar ekonomi dan energi dalam Focus Group Discussion (FGD) oleh Indonesia Resources Studies (IRESS) pada Kamis, 4 Agustus 2016 di Hotel Le Meridien, Jakarta.

Dalam FGD bertema ’’Dana Migas untuk Pengelolaan Energi Berkelanjutan’’ tersebut terlontar permintaan agar pemerintah dan DPR segera menyepakati dan merumuskan ketentuan tentang Dana Migas. Dengan demikian, dapat segera diimplementasikan guna mengatasi rapuhnya ketahanan energi nasional.

Bertindak sebagai nara sumber FGD adalah Direktur PNBP Kementerian Keuangan Mariatul Aini, Dosen FE UGM Dr Revrisond Baswir, Direktur Eksekutif INDEF Dr. Enny Sri Hartati, Pakar Ekonomi & Keuangan Dr. Ikhsan Modjo, Dosen FTKE Universitas Trisakti Dr. Pri Agung Rakhmanto, Direktur Utama Rinder Energia Yoga Suprapto, dan Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara.

Marwan mengharapkan Dana Migas dapat berperan menjadi salah satu solusi untuk mengatasi melebarnya kesenjangan konsumsi dan produksi migas yang berpotensi mengganggu ketahanan energi nasional. Sejak 2004, kata Marwan, Indonesia telah menjadi net oil importir, terutama karena terus menurunnya produksi yang berlawanan dengan terus naiknya konsumsi migas.

’’Pada 2014, produksi minyak turun menjadi 910.000 bph, cadangan terbukti migas tinggal 3,6 miliar barel, sedangkan konsumsi minyak bumi justru telah meningkat menjadi 1,6 juta bph,’’ ujarnya.

International Energy Agency (IEA) mengkategorikan ketahanan energi Indonesia rapuh, yakni berada pada urutan ke-65 dari 130 negara (World Energy Council, 2015).

Rapuhnya ketahanan energi ini disebabkan industri migas nasional yang bermasalah, sehingga produksi terus turun, impor naik (crude oil, BBM, LPG), dan energi baru terbarukan (EBT) tidak berkembang.

’’Penurunan produksi migas terjadi antara lain karena semakin menuanya lapangan migas, tidak memadainya investasi eksplorasi dan belum optimalnya kebijakan dan peraturan,’’ ujarnya menambahkan .

Direktur PNBP Mariatul Aini mengatakan bahwa Kementerian Keuangan mendukung pemberlakuan Dana Migas, dengan catatan ketentuan yang tercantum dalam UU Migas tersebut kelak tidak secara khusus menyebutkan besarnya prosentase dana yang akan dikenakan terhadap penerimaan migas. Aini juga berharap untuk menjalankan kebijakan dan program Dana Migas tidak perlu dibentuk lembaga khusus atau baru, cukup oleh lembaga atau kementerian yang ada.

Senada dengannya, Ihsan Mojo dan Sri Hartati berharap penetapan angka DM secara khusus dihindari. Sebaliknya, aspek governance pengelolaan DM harus dioptimalkan.

Ketiganya sepakat agar pengelolaan DM terintegrasi dengan APBN, bukan dana non-bugeter yang terpisah dari pengelolaan APBN. Untuk itu, lembaga perencana dan pengelola/pengawas yang relevan adalah KESDM dan pelaksana program adalah BUMN, terutama Pertamina.

Revrisond Baswir dan Pri Agung Rakhmanto menyatakan bahwa DM mungkin saja layak diimplementasikan. Namun yang juga sangat penting adalah optimalisasi pengelolaan sektor energi dan migas di sektor riil berdasarkan kebijakan dan pengaturan yang berlaku saat ini.

Keduanya berharap berbagai masalah sektor energi dan migas yang ada perlu dipahami dan dicari solusinya sebelum langkah finansial engineering melalui pemberlakuan DM diimplementasikan dalam UU Migas baru. Mereka juga mengingatkan agar penerapan DM perlu didasari oleh landasan filosofis dan naskah akademis yang harus segera dipersiapkan.

Masa Depan Gelap
Yoga Suprapto mengatakan masa depan energi nasional gelap. Perlu ada upaya antisipasi jika minyak habis, atau pun gas habis. DM perlu ada jika migas masih ada, sehingga perlu diterapkan agar migas tetap ada.

’’Untuk itu, perlu dirumuskan lebih dulu rencana penggunaan DM tersebut. Karena DM perlu untuk meningkatkan ketahanan energi, maka penggunaannya bukan hanya untuk kegiatan eksplorasi migas, tetapi juga untuk membangun infastruktur migas, misalnya membangun kilang, mengembangkan pembangkit listrik panas bumi (PLTP), dsb,’’ tuturnya.

Ia menerangkan, dana energi dapat pula ditransfer melalui pemberian insentif fiskal guna membangun industri petrokimia atau memindahkan industri ke wilayah-wilayah penghasil energi.

IRESS mengkaji bahwa secara global mayoritas negara di dunia menerapkan DM untuk kepentingan stabilisasi harga (disebut dana stabilisasi, stabilization fund) dan tabungan di sektor produktif (dana tabungan, saving fund). Dana stabilisasi bertujuan untuk stabilisasi harga BBM dan bersifat jangka pendek.

Sedang dana tabungan dimaksudkan untuk kepentingan akumulasi kapital jangka panjang guna meningkatkan manfaat SDA dan mencapai keadilan lintas-generasi. Tabungan dikelola dalam bentuk souvereign wealth fund (SWF) yang terpisah dari APBN/fiskal. Saat ini ada sekitar USD7.300 miliar SWF yang terakumulasi oleh negara pemilik SDA.

Permasalahan ketahanan energi nasional meliputi cadangan terbukti dan produksi yang terus menurun, tidak tersedianya cadangan strategis (Strategic Petroleum Reserve, SPR), kurangnya sarana penyangga dan penyimpanan energi, minimnya cadangan operaional, potensi gejolak ekonomi akibat flukstuasi harga minyak dunia, tidak berkembangnya EBT, ketidakadilan antar-generasi, dll.

Sumber Dana
Dalam hal ini, Indonesia perlu menyiapkan kebijakan dan peraturan terkait pemberlakuan beberapa jenis pendanaan secara menyeluruh dan berkelanjutan, tidak terbatas hanya pada skema DM guna peningkatan cadangan terbukti, tetapi juga dana bentuk dan tujuan lain seperti untuk pembangunan SPR, peningkatan cadangan operasional yang hanya sekitar 20-an hari, stabilisasi harga BBM, dll. Kerena itu Perlu pemberlakuan dana energi.

Para pembicara sepakat bahwa, selain DM pemerintah perlu merumuskan sumber dari mana dana-dana tersebut diperoleh, agar tidak menimbulkan komplikasi atau pun high cost economy. Selain pengalokasian sebagian dana penerimaan migas negara untuk DM, dana ketahanan energi dapat diperoleh dari alokasi khusus APBN atau mekanisme cukai dan pajak.

Aini menyebutkan, jika menggunakan mekanisme pajak di APBN tidak dapat langsung digunakan, tapi jika menerapkan cukai, dananya dapat langsung dialokasikan untuk pengembangan energi. Akan tetapi, Aini cenderung mendukung penerapan DM yang berasal dari penerimaan migas dalam UU, agar mempunyai kekuatan memaksa untuk dijalankan pemerintah.

Mayoritas pembicara sepakat bahwa ke depan EBT merupakan solusi untuk penyediaan energi yang berkelanjutan, sehingga selain dialokasikan dari DM, dana pengembangan EBT dapat pula berasal dari pajak khusus, cukai, dll.

Untuk jangka panjang, pemerintah perlu menyiapkan, energi apa yang menjadi prioritas untuk dikembangkan segera. Pemetaan sektor energi yang prioritas akan dikembangkan perlu dilakukan paralel dengan penyiapan implementasi DM. (inx)