Release Insider | Jakarta: PERHELATAN World Culture Forum (WCF) ke-2 akan kembali digelar. Kali ini, World Culture Forum berlangsung selama lima hari di Nusa Dua Convetion Center, Nusa Dua, pada 10-14 Oktober 2016.
World Culture Forum merupakan perhelatan berskala internasional yang diselenggarakan sebagai inisiatif untuk mewujudkan Indonesia sebagai tuan rumah budaya di tingkat internasional. Ajang World Culture Forum yang pertama, digelar pada 2013 lalu.
Di ajang ini juga akan dibahas isu-isu strategis yang dapat merekomendasikan kebijakan untuk pengembangan budaya dunia berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan perdamaian, kemakmuran, pelestarian, dan pengembangan kualitas hidup tingkat tinggi bagi peradaban global.
Pemilihan lokasi penyelenggaraan di Nusa Dua karena pertimbangan Bali sebagai pusat untuk melakukan diskusi-diskusi pembangunan kebudayaan dunia.
Perhelatan World Culture Forum dijadwalkan dibuka oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada 13 Oktober 2016. Lebih dari 1.500 peserta dan tokoh-tokoh dunia antara lain Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Menteri-Menteri Kebudayaan negara sahabat, NGO & IGO dan partisipan yang bergerak dibidang kebudayaan, akan ikut hadir dalam kesempatan ini.
Selain itu beberapa nama juga siap meramaikan, seperti, Ban Ki Moon (Sekjen PBB), Irina Bokova (Dirjen UNESCO) melalui video conference, dan Megawati Soekarnoputri (Presiden RI ke-5) sebagai Keynote Speaker. Keynote Speaker lain seperti King Abdullah II (Raja Jordania), dan Justin Trudeau (PM Kanada) juga diharapkan hadir pada forum ini.
Sedangkan sebagai pembicara dalam simposium akan hadir nama-nama terkenal seperti Ridwan Kamil (Wali Kota Bandung), Aleta Baun (Kepala Desa Mollo, NTT), Celio Turino (Culture Points, Brazil), Jill Cousins (Dirut Europana), Shinsuke Ota (Japan Water Agency), Wayan Windia (Ahli Subak), hingga Desi Anwar (CNN Indonesia).
Mereka akan akan saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam simposium-simposium yang membahas sub-sub tema WCF 2016. Antara lain, Reviving Culture for Rural Sustainability; Water for Life: Reconcilicing Socio-Economic Growth and Environmental Ethics; Interweaving History, Urban Space and Cultural Movement; Culture in the New Digital World; Reconciling State, Community, and Cultural Divides; dan Cultural Diversity for Responsible Development.
Tema-tema tersebut dipilih karena dianggap merupakan isu-isu penting dalam pembangunan dunia yang berkelanjutan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Muhadjir Effendy mengatakan tentang pentingnya budaya sebagai sumber pembangunan yang berkelanjutan dan meminta agar World Culture Forum dapat melahirkan atau menelurkan sesuatu yang dapat berguna dalam pembangunan manusia.
’’Saya yakin ini waktunya bagi kita untuk membuat platform saling pengertian dan menghargai keragaman budaya,” katanya.
Budaya, lanjut Menteri, merupakan komponen penting. Forum ini memberikan kesempatan bagaimana budaya membantu pembangunan berkelanjutan.
Ia menambahkan, budaya dapat dijadikan unsur penggerak dan menambah nilai. ’’Kita harus bisa melakukan kerja sama budaya dalam seluruh aspek kehidupan,” katanya.
Rumah Budaya
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, mengungkapkan WCF 2016 diharapkan akan menjadi wadah bagi peserta untuk mengalami interaksi dengan kekayaan budaya Indonesia. WCF 2016 akan mengambil tema ’’Culture for an Inclusive Sustainable Planet”.
’’Indonesia, sebagai rumah kebudayaan yang luar biasa kaya, dan harus melihat budaya bukan semata sebagai warisan tetapi sebagai elemen dasar masa depan,” tutur Hilmar.
’’Rumah budaya Indonesia memiliki banyak unsur, sehingga kita dapat menyaksikan bagaimana masyarakat membentuk ekosistem, kekayaan kita akan menjadi inti utama untuk didiskusikan. Sehingga, pada perhelatan WCF 2016, Indonesia bukan sekadar sebagai tuan rumah tapi dapat menjadi tempat bagi para peserta mengalami interaksi dengan kekayaan budaya kita,” ujarnya menambahkan.
Terdapat beberapa pondasi di rumah budaya Indonesia, yaitu pertama, keragaman yang luar biasa sehingga keragaman itu bisa menjadi modal untuk berkembang. Kedua, adanya harmoni. Indonesia memiliki kemampuan untuk membentuk harmoni melalui persatuan dan kesatuan.
Ketiga, jembatan yang mengaitkan jarak, ruang berkarya, dan berkiprah secara kebudayaan. Keempat, memasukkan komponen lingkungan hidup di dalam berkarya dan membangun kebudayaan. Kelima, menempatkan desa agar dapat mengalami pembangunan berkelanjutan. Keenam, keberadaan teknologi untuk mewarnai perkembangan kebudayaan Indonesia.
Azyumardi Azra, salah seorang steering committee WCF menegaskan bahwa Indonesia sebagai Negara yang multikultur dan ber-Bhinneka Tunggal Ika, adalah negara multikultural yang relatif aman dan damai. Bahkan proses pemilihan umum saja sudah lima kali diselenggarakan, dan tetap aman.
Kenapa tidak terjadi kekerasan? Antara lain karena keragaman budaya itu. Realitas Indonesia yang multikultur itu adalah sebuah aset yang paling berharga, dan Indonesia ingin menaikan perannya dalam kancah dunia melalui diplomasi budaya.
’’Nah, ini sebetulnya sesuai dengan prinsip atau pernyataan berulang dari Presiden Joko Widodo bahwa Indonesia adalah negara besar, yang tentu juga memiliki tanggung jawab besar. Hal itu terutama untuk menciptakan dunia yang aman, tertib, dan jauh dari kekerasan. Jadi, ide dasar WCF kedua ini masih sama dengan penyelenggaraannya yang pertama, yaitu Indonesia ingin memainkan peran yang lebih asertif di dalam pengembangan budaya multikultural yang inklusif dan damai,” paparnya.
Karena itu Kemdikbud berharap agar WCF 2016 dapat menjadi jembatan tiga komponen. Yakni, pertama jembatan antara masa lalu dan masa depan, jembatan generasi kemarin dan generasi masa depan, dan jembatan antara warisan kemarin dengan lapang baru atau landscape yang modern.
Pada sisi konsep penyelenggaraan, Hilmar menjanjikan terdapat dua hal berbeda yang akan dilakukan di WCF 2016, yaitu adanya agenda kunjungan ke lapangan, dan keikutsertaan kaum muda. Agenda kunjungan kelapangan, ujar Hilmar, merupakanbagian integral dari forum.
’’Kesenian di sini bukan dekorasi tapi cara ekspresi, begitu pula kunjungan kelapangan bukan pengisi waktu senggang, tapi sebagai cara agar peserta dapat mengalami bersama apa yang dibicarakan,” jelasnya.
Selain itu keikutsertaan kaum muda pada WCF 2016 akan dilibatkan kedalam perhelatan Youth Forum yang dimulai di awal Oktober 2016, atau 12 hari sebelum forum utama dimulai. Kegiatan ini bertujuan agar kaum muda mendapatkan kesempatan cukup untuk membicarakan berbagai hal penting di antara mereka sendiri.
Kemudian, hasil pembicaraan akan disampaikan di dalam forum WCF 2016. Sebanyak sekitar 200 orang pemuda yang terbagi atas 100 orang yang berasal dari luar negeri, dan 100 orang dari dalam negeri yang turut serta di Youth Forum.
’’Kita cenderung mendefinisikan budaya itu dari sisi orang tua, padahal anak muda harus diberikan ruang untuk mendefinisikan dan mengekspresikan kebudayaan menurut anak muda,” tutur Hilmar. (ant)