Release Insider | SUPERMOON alias bulan super, merupakan fenomena alam yang sangat langka terjadi. Nanti malam, tepatnya pada 14 November 2016 pukul 20:52 WIB, Supermoon kembali menghiasi langit dunia. Mau tahu seperti apa?
Supermoon sering juga disebut Beaver Moon atau Frost Moon. Kali ini, fenomena Supermoon bertepatan dengan bulan purnama. Kemunculannya akan membuat bulan purnama memiliki diameter sudut sekitar 7 persen lebih besar dari rata-rata.
Bila dibandingkan dengan Micromoon, maka akan tampak sekitar 12-14 persen lebih besar. Supermoon juga terlihat sekitar 30 persen lebih terang.
Fenomena Supermoon kali ini disebut-sebut sangat spesial karena jaraknya menjadi terdekat dengan Bumi dibanding 68 tahun silam. Ya, Supermoon kali ini akan muncul dengan ukuran terbesar dan paling terang sejak 26 Januari 1948.
Hal ini terjadi karena Bulan mengorbit Bumi dalam bentuk elips sehingga posisinya lebih dekat dengan planet Bumi dibandingkan biasanya. Para astronom menyebut posisi terdekat Bulan dengan Bumi ini sebagai tahap perigee.
Jarak rata-rata Bumi dan Bulan sekitar 384.400 kilometer. Namun, hari ini jaraknya diperkirakan lebih dekat menjadi 356.509 kilometer.
Dua pekan sebelum fenomena Supermoon, Bulan juga akan berada di titik terjauh (apogee) dari Bumi tahun ini, yakni pada 31 Oktober 2016. Jarak Bumi-Bulan saat apogee mencapai 406.662 km.
Dengan begitu, perbedaan jarak antara apogee pada 31 Oktober dengan perigee pada 14 November akan lebih dari sekitar 50.000 km. Sayangnya, apogee 31 Oktober tepat pada saat bulan memasuki fase Bulan Baru (New Moon), sehingga tak tampak di langit Bumi karena membelakangi Matahari.
’’Bulan purnama di 14 November menjadi yang terdekat di abad 21. Bulan purnama tidak akan sedekat seperti ini hingga 25 November 2034,” ujar pihak NASA dalam keterangan tertulisnya.
Bisakah masyarakat Indonesia menikmati fenomana ini? Jawabannya; sangat bisa.Terlebih, fase bulan purnama dan titik terdekat Bulan dengan Bumi akan dicapai saat Matahari sudah terbenam di Indonesia. Secara otomatis, ketika Bulan masuk fase Purnama, ia akan terbit berbarengan dengan Matahari terbenam.
Akan tetapi, bagi yang tidak sering mengamati Bulan, mungkin akan melihat Bulan yang biasa saja di langit, atau bahkan kesulitan melihat besarnya Bulan. So, disarankan untuk melihatnya dengan teleskop bagi Anda yang memilikinya. Dengan demikian, Anda akan lebih mudah menemukan perbedaan besar diameter sudut bulan purnama.
Sebabkan air pasang lebih tinggi
Pasang naik dan pasang surut air laut disebabkan oleh gravitasi Bulan (dan Matahari) terhadap Bumi. Meski ukuran Bulan jauh lebih kecil daripada Matahari, tetapi pengaruhnya lebih besar karena letak Bulan jauh lebih dekat ke Bumi ketimbang Matahari.
Nah, karena Bulan berada cukup dekat dengan Bumi ketika fenomena Supermoon muncul, maka saat itu akan menyebabkan pasang naik yang sangat tinggi dan pasang surut yang sangat rendah. Pasang laut seperti ini juga terjadi pada saat fase Bulan Baru.
Dari info astronomi menjelaskan, meski pada saat Supermoon posisi Matahari-Bumi-Bulan akan selaras di bidang Tata Surya, hal tersebut bukan merupakan pemicu bencana alam seperti gempa bumi atau aktivitas tektonik lainnya. Efek dari Supermoon bagi Bumi sangat kecil, bahkan tak berefek sama sekali.
Sudah banyak ilmuwan yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara Supermoon dengan bencana alam di Bumi, namun hingga kini belum menemukan suatu hubungan yang signifikan tersebut.
Cara terbaik melihatnya
Cobalah pergi ke tempat gelap yang jauh dari cahaya seperti lampu atau pergi ke desa, sekaligus berlibur, agar supermoon bisa lebih maksimal dilihat. Para fotografer disarankan mengunduh aplikasi dan peta untuk melacak perubahan bulan agar mendapatkan waktu terbaik mengambil gambar.
Ketika itu, coba perhatikan bulan saat mendekati cakrawala. Sebab, kondisi ini dapat menciptakan ilusi optik yang akan membuat bulan terlihat lebih besar dan lebih spektakuler.
Ini benar-benar sebuah fenomena langka. Setiap manusia di berbagai penjuru dunia, bisa menyaksikannya. Jika terlewatkan, Anda tak dapat menyaksikan fenomena seperti ini hingga 2034 mendatang. Masih lama, bukan? (*)