Promosi Kaku Nggak Laku, Yuk Jadi ’’Tukang Cerita’’!

Storytelling
release insider

Release Insider | PROMOSI kaku nggak laku, Yuk jadi ’’Tukang Cerita’’! Sengaja kalimat ini saya jadikan judul mengingat masih banyak para pebisnis yang berkutat pada bahasa promosi yang kaku.

Anda termasuk di dalamnya? Sebaiknya segera mengubahnya ke gaya yang lebih nge-pop dan ’’kekinian’’. Sebab, promosi kaku sekarang ini cenderung nggak laku. Sekarang lah saatnya Anda menjadi ”Tukang Cerita” alias Story Teller.

Ketika ingin mempromosikan bisnis yang tengah kita geluti, baik dalam produk maupun jasa, pemasangan iklan display di media kerap menjadi pilihan. Padahal, saya menilai, promosi dalam bentuk tulisan justru jauh lebih efektif. Sebab, promosi dalam bentuk tulisan, memuat lebih banyak informasi yang dibutuhkan calon pelanggan.

Nah, masalahnya sekarang adalah, tidak semua pelaku bisnis bisa menuliskan apa yang ingin mereka promosikan dalam bahasa yang nge-pop. Alhasil, tulisan tentang produknya acap kali terasa kaku dan terkesan boring.

Sekarang lah saatnya Anda menjadi ’’tukang cerita’’ yang bisa menyampaikan isi konten pada calon pelanggan dengan perasaan gembira. Ya gembira, bukan boring.

Pada dasarnya, setiap manusia diprogram untuk mencari sebuah cerita pada apapun yang dilihatnya. Setiap gambar, kata atau tulisan, sesederhana apapun itu, pasti menyimpan arti mendalam. Hal ini membantu otak kita mengontekstualisasikan sesuatu secara rinci.

Karena itu, hanya good story yang dapat berfungsi sebagai alat ampuh dalam strategi bisnis. Misalnya, untuk mengkomunikasikan ide-ide pemasaran, mengubah persepsi, melanjutkan hubungan emosional dengan pelanggan, dan mengubah perilaku pelanggan.

Pembahasan tentang good story atau how to make good story, sebenarnya nggak terlalu ribet. Terpenting, ketika tengah ’’bercerita’’ seorang pemasar harus bisa membuat calon pelanggannya ikut ’’bermain’’ alias aktif menyerap cerita yang dibuat. Seperti apa?

Yang pertama perlu Anda perhatikan adalah, sebuah cerita harus mengandung narasi yang sederhana namun dapat mendekskripsikan sesuatu secara menarik. Buatlah cerita yang akan bisa menarik pembaca pada alurnya secepat mungkin, menghadirkan masalah, dan selanjutnya memberikan solusi untuk masalah tersebut. Intinya, pastikan cerita itu terkoneksi pada mereka.

Lalu, yang kedua, cerita itu harus berdaya emosi kuat. Memulai hubungan emosional melalui simpati, iri hati atau intrik, tidak hanya menarik calon pelanggan ke dalam cerita, tetapi juga menciptakan kenangan emosional tentang produk Anda.

Ini jauh lebih kuat daripada fakta atau kebenaran produk itu sendiri. Dari situ, Anda bisa meningkatkan hubungan yang kuat antara pelanggan dengan produk dan merek.

Ketiga, sebuah cerita perlu mengatakan hal-hal yang otentik tentang sebuah brand. Hal-hal yang bisa mewakili brand tersebut, pun ketika pelanggan meneruskan ceritanya pada yang lain. Di dunia digital, hal ini sangat mudah tersebar karena tidak terukur oleh space.

Perlu Waktu
Boleh dibilang, storytelling merupakan ’’the most powerful tool’’ buat para pemasar. Akan tetapi, tidak serta merta menjadi pemecah semua masalah. Ini hanya salah satu cara yang berbeda dalam mempromosikan bisnis Anda di era ’’Internet of Things’’.

Anda juga dapat menyertakan video atau iklan banner dalam barisan cerita, karena hasil kolaborasinya cukup bisa memengaruhi promosi. Namun, tetap saja hasilnya tidak akan instan.

Semua bentuk promosi tersebut haruss bisa terkoneksi dengan pelanggan. Anda perlu ’’menjahit’’ berbagai elemen itu ke sebuah narasi tunggal. Tentu saja, hal ini membutuhkan waktu, tenaga, dan pikiran. Di sinilah Anda memerlukan apa yang disebut ’’Communication Planning’’.

Yang sering terjadi saat ini, dalam proses perencanaan komunikasi, storytelling diresepkan sebagai solusi terakhir. Hasilnya? It’s too late.

Nah, agar rumusan promosi nggak jadi mubazir, sebaiknya storytelling tidak ditempatkan di solusi akhir. Ibarat dalam sebuah sajian makanan, maka jadikanlah storytelling sebagai ’’appetizer’’ sekaligus ’’main course’’, dan ’’dessert’’nya. Soal elemen pendukungnya, itu hanya bumbu penyedap yang mampu membuat sajian terasa nikmat. (inx)

SHARE
Previous articleTantangan Besar Gwyneth Paltrow Saat Memulai Bisnis Start-Up
Next articleKota Gading Serpong yang Menjadi Buah Bibir
Inge Mangkoe adalah seorang wartawan yang sudah kurang lebih 15 tahun berkiprah di dunia jurnalistik. Passion menulis sudah ia rasakan sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia mengawali karier profesional sebagai jurnalis di Jawa Pos Group (Rakyat Merdeka dan Indopos). Inge juga yang ikut membidani koran Lampu Merah (sekarang Lampu Hijau) bersama sejumlah jurnalis dari Rakyat Merdeka. Selain di Jawa Pos Group, Inge pun pernah bergabung di salah satu koran daerah milik Media Indonesia Group: Lampung Post, selama kurang lebih dua tahun.