SAAT puasa sudah dipastikan kebutuhan sandang dan pangan naik. Apalagi menjelang Lebaran, kebutuhan bisa naik hingga dua kali lipat. Hal itu berpengaruh pada harga barang.
Permintaan tinggi biasanya dibarengi dengan harga yang melonjak terhadap barang yang dibutuhkan. Alhasil, masyarakat pun merasa berat dengan harga sandang dan pangan yang naikr.
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sangat menyadari masalah tersebut. Karena itulah Kadin terus mengecek pasokan barang untuk memastikan tidak ada kenaikan harga sandang dan pangan saat puasa dan Lebaran.
Baca juga: Solusi Mengelola Agribisnis Agar Lebih Baik
Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani menekankan hal ini dalam kunjungannya di Thamrin City untuk memantau pergerakan harga kebutuhan sandang dan pangan.
”Bulan puasa dan Lebaran adalah momen besar yang membutuhkan perhatian khusus, sehingga kadin merasa perlu memberikan kontribusi dalam memastikan kesediaan barang di pasar dan menjamin harga tidak melambung tinggi,” papar Rosan, Selasa (14/6).
Rosan juga menyatakan bahwa pengusaha yang bernaung di bawah kadin berkomitmen untuk membantu pemerintah menstabilkan harga pangan. ”Para pelaku usaha berusaha memberikan promosi dan potongan harga kepada konsumen dengan merancang hal ini jauh sebelum bulan puasa dan lebaran datang, sehingga harga yang ditawarkan bisa membantu konsumen untuk bisa menjalankan puasa dengan tenang dan merayakan Lebaran dengan bahagia,” kata Rosan.
Nah, untuk pengusaha jangan berpikir dapat mengeruk keuntungan besar dengan memanfaatkan kenaikan permintaan selama bulan puasa, karena Rosan menegaskan pihaknya akan memberi teguran.
Baca juga: Jelang Ramadan dan Idul Fitri, Stop Praktik Monopoli
”Pengusaha ingin untung itu wajar, tapi jika terlalu berlebihan ya itu nggak bagus. Masyarakat yang ingin merayakan Lebaran tidak boleh disusahkan dengan meroketnya harga-harga,” tegas Rosan.
Rosan pun menyatakan akan berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian dan Bulog untuk memastikan suplai kebutuhan masyarakat tetap terjaga sehingga harga pangan tidak bergejolak.
”Seperti yang kita lihat sama-sama, ketersediaan barang mencukupi untuk konsumsi masyarakat. Sehingga masyarakat tidak perlu panik dalam membeli,” kata Rosan.
Waketum Bidang Perdagangan Kadin Benny Soetrisno menyatakan bahwa kenaikan harga ini selalu berulang setiap tahun. Sehingga harus dicari solusi untuk mempertahankan kestabilan harga.
”Kenaikan harga ini sebenarnya bisa ditanggulangi dengan memperbaiki pola konsumsi dari konsumen. Konsumen tidak boleh berbelanja dengan panik. Jadi market bisa terjaga dengan baik,” ucap Benny.
Harga Daging Sapi 80 Ribu/Kg Cukup Berat
Sementara itu terkait keinginan Presiden Joko Widodo untuk menurunkan harga daging sapi di kisaran Rp 80.000, Kadin menyatakan berat untuk tercapai.
Seperti diungkapkan oleh Waketum Bidang Pengolahan Makanan dan Industri Peternakan Kadin Juan Permata Abdoe. Menurut Juan, pernyataan keberatan ini bukanlah sebagai langkah untuk menentang kebijakan pemerintah terkait kestabilan harga daging sapi. Tapi menurut kalkulasinya, memang berat untuk dicapai.
”Secara perhitungannya, harga daging sapi hidup per kilogramnya adalah US$ 3, sehingga jika dijadikan karkas dan dibersihkan, harganya menjadi Rp 86.000 per kilogram. Masuk ke rumah potong, biayanya Rp 20.000. Lalu distribusi ke pasar, nambah lagi rata-rata maksimal Rp 20.000. Jadi kalau harga jualnya di sekitar Rp 120.000, itu memang sesuai dengan perhitungan kita untuk daging secondary cut,” papar Juan, Selasa (14/6).
Sebelumnya, Juan juga menjelaskan tentang kategori daging sapi di pasaran. Yang pertama adalah primary cut, yaitu daging sirloin dan terderloin. ”Primary cut ini adalah yang paling mahal, kisarannya antara Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per kg. Ini untuk konsumsi pembuatan steak,” kata Juan.
Kedua adalah secondary cut, yaitu paha belakang dan sebagian paha depan yang merupakan daging yang menjadi favorit di perdagangan, karena harganya relatif murah. Jenis ketiga adalah yang disebut sebagai daging industri, yaitu daging paha depan dan daging forter 85 CL. ”Daging 85 CL ini adalah 85 persen daging dan 15 persen lemak, biasanya untuk dibikin semur atau daging sop,” kata Juan.
Kebijakan impor daging sapi, memang bisa memenuhi kuota suplai daging sapi. Tapi menurut Juan, hal ini tidak dapat menurunkan nilai jual harga daging sapi. Karena yang diimpor oleh pemerintah adalah daging sapi bagian depan, sehingga peternak akan menaikkan harga daging sapi paha belakang atau secondary cut. Dan yang diimpor adalah daging beku, yang hanya diminati 15% dari pembeli daging.
”Belum ditambah dengan faktor masyarakat Indonesia yang lebih menyenangi daging segar. Tingkat konsumennya hingga 85% dari keseluruhan pembeli,” ucap Juan.
Juan mengungkapkan, sebenarnya yang terbaik adalah pemerintah harusnya memperbanyak jumlah sapi yang diternakan. ”Saat ini populasi sapi hanya 12 juta ekor, kalau kita ambil rata-rata, artinya setiap peternak hanya memiliki 2 sapi. Bagaimana caranya bisa mereka memenuhi suplai kebutuhan daging sapi yang meningkat di kala Lebaran seperti ini?” tanya Juan.
Dijelaskan Juan, sudah sejak dulu pengusaha meminta kepada pemerintah untuk melakukan kebijakan penambahan jumlah sapi di peternak.”Kalau masing-masing peternak bisa memiliki 100 sapi, itu akan bisa membantu penurunan harga dan menjaga kesstabilan. Atau pemerintah jangan impor daging sapi beku tapi impor sapi hidup,” kata Juan. (aan)