Akhirnya, Batan Dapatkan Izin Pembangunan RDE dari Bapeten

Pembangunan RDE
Ilustrasi (Foto: IST)

Release Insider | RENCANA Pembangunan RDE (Reaktor Daya Eksperimental) yang sudah diluncurkan sejak 2014 lalu, akhirnya menemui titik terang. Setelah melalui proses panjang, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) mendapatkan izin tapak RDE dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).

Izin pembangunan RDE ini didapatkan Batan pada awal 2017. Menurut Kepala Batan Djarot Sulistio Wisnubroto, proses pembangunan RDE memang membutuhkan waktu lama.

“Selambat-lambatnya proses pembangunan RDE itu adalah 17 tahun. Karena itu, kita berusaha mempercepatnya dengan menyediakan dokumen-dokumen yang dibutuhkan jauh hari sebelum pengajuan izin diajukan. Target izin tapak ini sebenarnya pertengahan 2016, tapi baru didapatkan di awal 2017,” kata Djarot saat konferensi pers terkait Progres Pembangunan RDE dan Irradiator di Puspiptek Serpong, Tangerang, Selasa (7/2).

Target berikutnya, Djarot menjelaskan adalah izin pembangunan fisik atau EBC pada 2018. Lalu, empat tahun kemudian yaitu di 2022 target untuk izin commisioning.

’’Izin commisioning ini adalah pengujian kelayakan yang biasanya berlangsung selama satu tahun. Baru setelah itu mendapatkan izin operasi,” ujar Djarot.

Baca juga: Dukungan Pembangunan PLTN Terus Meningkat

Ia mengungkapkan bahwa pembangunan RDE ini memiliki tujuan untuk menunjukkan pada pihak-pihak terkait, khususnya masyarakat Indonesia, bahwa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bukanlah sesuatu hal yang menakutkan.

’’Awalnya kami mengkhawatirkan resistensi dari berbagai pihak, karena itu dipilih kapasitas 10 megawatt saja, jauh lebih kecil dari RDE yang sudah beroperasi. Meski demikian, RDE ini mampu menghasilkan listrik sebesar 2,9 megawatt, panas untuk program desalinasi dan uji coba percobaan smelter,” ucap Djarot.

Tahap selanjutnya, menurut Djarot, adalah menyusun dokumen Basic Design sebagai dasar penyusunan persyaratan pengajuan izin konstruksi. Izin konstruksi ini ke depannya diharapkan akan sepenuhnya berasal dari Indonesia, karena Batan memiliki tim yang mampu untuk merancangnya.

’’Hanya untuk saat ini, kita masih akan bernegosiasi dengan negara yang akan memberikan softloan untuk pembangunan RDE ini,” kata Djarot.

Saat ini ada dua negara yang menjadi calon pemberi softloan, yaitu Rusia dan Tiongkok. Masing-masing negara memiliki kelebihan dan kekurangan.

Rusia memiliki teknologi Jerman karena mengakuisisi salah satu perusahaan setempat, tapi tidak memiliki prototype. Sementara Tiongkok, walau hanya mengadopsi teknologi Jerman tapi sudah membangun instalasi RDE yang jauh lebih besar dan sudah mulai mengoperasikan.

Baca juga: Potensi Limbah Radioaktif di Indonesia

’’Kita akan duduk bersama Kemenkeu dan Bappenas untuk menentukan pihak mana yang akan bekerja sama dengan kita. Batan akan menilai secara teknis dan masalah uangnya akan diurus oleh kemenkeu. Nanti untuk perizinan bangun akan kita lelang kembali,” ungkap Djarot.

Menurut Djarot, sebenarnya pembangunan RDE dapat dilakukan tanpa harus meminjam dari pihak lain, karena biayanya yang relatif kecil yaitu Rp2,2 triliun. Bila dibagi dalam tenor 5 tahun, hanya Rp440 miliar per tahun.

’’Sebenarnya biaya pembangunan RDE bisa dialokasikan dari APBN. Tapi jika menggunakan APBN, masa pengerjaannya lebih ketat. Sementara, kecenderungan pembangunan reaktor biasanya suka delay,” jelas Djarot.

Adapun indikator keberhasilan RDE nantinya bisa dinilai dari pengoperasian yang berlangsung baik, ada masyarakat maupun stakeholder yang menggunakan fasilitas RDE, bisa menjadi contoh untuk pembangunan RDE di daerah lainnya dan menopang program PLTN komersial. (aan)