Reklamasi Pantai Jakarta, Pidana atau Administrasi?

Reklamasi Pantai Jakarta

KASUS reklamasi pantai Jakarta, belakangan ini mengundang perdebatan dari berbagai kalangan. Jika terdapat penyalahgunaan wewenang, ranah hukum apa yang lebih tepat diterapkan, pidana atau administrasi?

Demikian disampaikan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Yuddy Chrisnandi di Jakarta, Jumat (27/5). Pertanyaan ini dilontarkan Yuddy dalam acara forum group discussion (FGD) tentang kontradiksi pengertian penyalahgunaan wewenang antara UU No 30/204 dengan Hukum Pidana.

FGD tersebut menghadirkan sejumlah pembicara, antara lain Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana, Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus Arminsyah, anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Eddy Mulyadi Soepardi, Wakil Ketua Komisi pemberantasan Korupsi (KPK), dan Guru Besar UI Eko Prasojo.

Baca juga: Nelayan Kompak Sebut Ahok Bohong

Lebih lanjut Yuddy mengungkapkan, Diberlakukannya UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Adpem) merupakan bagian penting dari reformasi birokrasi. ”UU ini juga bisa menjadi trigger dalam upaya penegakan hukum administrasi negara, sekaligus hukum pidana terkait tindak pidana korupsi,” ujarnya.

UU Adpem, lanjutnya, bertujuan untuk mewujudkan good governance dengan mengadopsi restorative justice, sebuah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan. UU ini juga mengedepankan upaya preventif, suatu mekanisme tata cara penyelesaian yang berfokus pada dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara yang lebih adil.

Seperti halnya dalam hukum pidana yang memiliki kriteria untuk membatasi gerak bebas kewenangan pejabat pemerintahan (weerrechtlijkheid), UU Adpem juga ada parameter yang membatasi gerak bebas kewenangan pejabat pemerintahan (discreationary power), yakni penyalahgunaan wewenang (detournament de povouir) dan sewenang-wenang (abus of power).

Menteri Yuddy menegaskan, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang masih mennjadi problem bagi bangsa Indonesia, sehingga dalam menanganai diperlukan berbagai upaya. ”Mencegah korupsi sama pentingnya dengan upaya penindakan. Keduanya selalu bermuara pada kinerja penyelenggara negara, integritas, profesionalisme dan akuntabilitas,” ujar Yuddy.

Namun, diingatkan bahwa penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara pemerintahan tidak mutatis mutandis (dengan perubahan yang penting telah dilakukan) merupakan tindak pidana korupsi, sekalipun telah mengakibatkan kerugian negara.

”Karena itu harus ada penegasan pembedaan secara jelas antara sanksi administrasi dan sanksi pidana demi kepastian hukum. Ketika perkara penyalahgunaan wewenang telah diputus dengan sanksi administrasi, maka perkara yang sama tidak bisa lagi diajukan ke pengadilan dengan menuntut sanksi pidana,” tutur Yuddy.

Guru Besar FISIP Universitas Nasional Jakarta ini mengakui bahwa tujuan hukum administrasi negara dan tindak pidana korupsi memang berbeda secara nyata. Tetapi keduanya saling menguatkan.

UU Adpem bertujuan menciptakan kepastian hukum dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, sementara salah satu tujuan UU Tipikor adalah menyelamatkan atau mengembalikan kerugian keuangan negara daripada efek penjeraan (represif).

Dengan demikian, lanjut Yuddy, kedua peraturan ini sangat relevan dengan semangat penegakan hukum. Karena itu persinggungan hukum antara kedua undang-undang dalam hal penanganan korupsi harus dibingkai dalam semangat berkiolaborasi dan bersinergi dalam penanganannya.

”Kedua hukum tersebut berangkat dari satu tarikan nafas yang sama, yakni menegakkan hukum dan keadilan setegak-tegaknya,” ujar Menteri.

Diingatkan juga bahwa dalam Pasal 20 UU Administrasi Pemerintahan, secara tegas menyatakan bahwa Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) melaksanakan pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang apabila terdapat kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara.

Peran krusial APIP dalam hal ini adalah mengawasi dan mengidentifikasi terjadinya indikasi penyalahgunaan wewenang, sehingga pelanggaran administrasi yang merugikan negara dapat diselesaikan di tingkat administrasi pemerintahan. Tetapi jika ditemukan niat jahat, bisa masuk dalam ranah pidana.

”Karena itu, sejatinya keberadaan UU Administrasi Pemerintahan bisa memperkuat dan menambah daya dobrak upaya pemberantasan korupsi. Namun demikian kualitas. Namun APIP tetap dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan untuk menjawab amanat UU tersebut,” kata Menteri Yuddy.

Yuddy menambahkan, sejalan dengan pelaksanan UU tersebut, Presiden telah mengeluarkan Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam Perpres tersebut dijelaskan apabila terdapat laporan dan/atau pengaduan masyarakat kepada Pimpinan Kementerian/Lembaga, Gubernur, atau Bupati/Walikota sebagai pelaksana proyek strategis nasional atau kepada Kejaksaan Agung atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan.

Untuk mengawal Perpres tersebut, Presiden juga telah mengeluarkan Inpres No. 1 tahun 2016 yang menugaskan Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk mendahulukan proses administrasi pemerintahan sesuai ketentuan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional serta melakukan pemeriksaan atas hasil audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) mengenai temuan tindak pidana yang bukan bersifat administratif yang disampaikan oleh pimpinan kementerian/lembaga atau pemerintah daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (inx)